Wednesday, August 27, 2008

PERANAN SUAMI ISTERI DALAM TANGGUNGJAWAB DAKWAH

Islam mewajibkan setiap Muslim, lelaki mahupun perempuan, untuk menjadikan akidah Islam sebagai landasan kehidupan, termasuk dalam kehidupan rumah tangga. Menjadikan akidah Islam sebagai asas rumah tangga bererti meletakkan akidah sebagai penentu tujuan hidup dalam berumah tangga. Akidah Islam menetapkan bahwa tujuan hidup setiap manusia adalah menggapai redha Allah Swt. melalui ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan kepada-Nya (QS adz-Dzariyat [51]: 56).
Berdasarkan hal ini, maka orang yang berpegang teguh pada akidah Islam akan senantiasa terikat dengan aturan-aturan Islam, termasuk dalam membangun kehidupan rumah tangga; membina dan menjalaninya. Motivasi dalam berkeluarga adalah semata-mata berharap mendapat redha-Nya. Keberhasilan material bukan hal yang utama. Setiap perintah Allah akan dilaksanakan sekalipun berat, penuh rintangan dan halangan, serta tidak terbayang keuntungan materialnya. Sebaliknya, semua yang dilarang-Nya akan senantiasa dihindari walaupun menarik hati, menyenangkan, dan menjanjikan kesenangan duniawi.
Salah satu perintah Allah Swt. kepada suami dan isteri adalah dakwah. Perhatikanlah firman Allah Swt. berikut:
]وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ[
Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Mereka melakukan amar makruf nahi mungkar. (QS at-Taubah [9]: 71).
Dalam ayat ini Allah Swt. menyatakan bahawa berdakwah merupakan aktiviti yang menyatu dengan keimanan seseorang, baik laki-laki mahupun wanita. Allah Swt. juga berfirman:
]وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ[
Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan (Islam) dan melakukan amar makruf nahi mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS Ali Imran [3]: 104).
Ayat ini mengisyaratkan bahwa dakwah bukanlah tanggung jawab seseorang saja, tetapi harus dilakukan secara berjamaah; harus ada sekelompok orang beranggotakan lelaki mahupun perempuan yang mampu menegakkan tujuan dakwah.
Jadi jelas, bahwa dakwah memang wajib dilakukan oleh setiap muslim lelali mahupun wanita, suami mahupun isteri. Sekarang, setidaknya separuh jumlah penduduk dunia adalah wanita. Padahal pihak yang layak dan tepat berdakwah di kalangan wanita adalah kaum wanita; ibu dan bakal ibu. Apalagi kondisi wanita sekarang telah dijadikan sasaran yang empuk untuk meruntuhkan suatu bangsa.
Dengan demikian, suami dan isteri sama-sama meyakini bahwa dakwah merupakan kewajiban mereka. Suami tidak akan menghalang-halangi isterinya berdakwah. Sebab, menghalangi isteri berdakwah bererti menghalanginya menunaikan kewajiban. Hal ini sama saja dengan menjerumuskannya ke dalam dosa. Sebaliknya, isteri juga akan meredhai suaminya berdakwah. Suatu kali suaminya kendur dalam dakwah, bersegeralah ia menyemangatinya. Isteri bangga memiliki suami sebagai pengembang dakwah, suami pun bangga memiliki isteri pengemban dakwah. “Keluarga kami adalah keluarga pengemban dakwah,” begitu jiwanya berkata. Inilah yang dinamakan kebahagiaan sejati.
Mengatasi Permasalahan Keluarga
Hidup berumah tangga bukanlah jalan pintas yang tanpa hambatan. Ujian, cubaan, dan hambatan akan datang silih berganti. Hal ini penting selalu disedari oleh setiap pasangan suami-isteri.
Sepasang suami-isteri akan ingat bahwa ketika mereka menikah berarti dia telah menjawab satu pertanyaan penting dalam hidupnya, “Dengan siapa Anda akan berjuang bersama mengharungi kehidupan demi mencapai redha Allah dan masuk surga bersama-sama?” Dengan mengingat hal ini maka suami dan isteri adalah sahabat satu sama lain. Secara îmâni, suami-isteri bukan sekadar bertujuan mencapai kebahagiaan seksual atau status sosial tinggi, melainkan masuk syurga bersama-sama. (Lihat: QS az-Zukhruf [43]: 70-71). Rumah tangga yang dibentuknya bukan sebarang rumah tangga, melainkan rumah tangga yang akan dibawa ke syurga. Inilah perkara yang senantiasa diingatnya ketika menghadapi persoalan. Karenanya, ketika terjadi goncangan rumah tangga, mereka saling berpegangan, bukan justru saling berlepas tangan. Penyelesaian dan prinsip dalam menyelesaikan persoalan pun senantiasa disandarkan pada akidah dan syariat Islam.
Di antara persoalan yang muncul dalam rumah tangga adalah:
1.Ketempangan pemahaman Islam antara suami-isteri. Adanya jurang pemahaman sepasang suami-isteri dapat menghadapi kegoncangan dalam rumah tangga. Dakwah pun akan terganggu. Persoalan ini perlu diselesaikan dengan cara menyamakan persepsi. Caranya adalah berdialog; bukan dialog seperti penguasa dengan rakyat, tetapi dialog antara dua sahabat yang dilandasi cinta dan kasih sayang. Jika dialog terasa sulit, maka suami akan meminta dan mendorong isterinya mengikuti proses pembinaan. Hal yang sama dilakukan juga oleh isteri kepada suaminya. Rasulullah saw. sering berdialog dengan isteri-isterinya.
2.Beban hidup keluarga. Dalam keadaan di mana kenaikan harga barang begitu dirasai oleh semua peringkat masyarakat dan tak terkecuali keluarga pengembang dakwah. Saat menghadapi persoalan ini keluarga Muslim akan menghadapinya dengan penuh kesabaran. Mereka yakin, Allah sajalah Maha Pemberi rezeki; Dialah yang meluaskan rezeki bagi siapa saja yang Dia kehendaki; Dia pula yang menyempitkan rezeki atas siapa saja yang Dia kehendaki. Keluarga Muslim memandang kaya atau miskin hanyalah cubaan dari Allah, Zat Yang Maha Gagah. Hal ini justru mendorong mereka untuk semakin taat kepada Allah Swt. (Lihat: QS al-A‘raf [7]:168). Suami akan terus berusaha mencari nafkah. Isteri pun tidak banyak menuntut.
Janganlah mengira Rasulullah hidup penuh kelonggaran. Sudah dimaklumi, Rasulullah saw. hidup dalam kefakiran. Nabi kekasih Allah tersebut dan keluarganya sering tidak kenyang makan selama tiga hari berturut-turut. Hal ini beliau alami hingga pulang ke rahmatullah (HR al-Bukhari dan Muslim). Namun, beliau dan isteri-isterinya tetap teguh dalam dakwah Islam.
3.Masalah prioriti amal suami-isteri. Kadangkala suami memberi keutamaan agar isterinya mengasuh anak yang sakit, misalnya; sementara isterinya lebih mengutamakan menghubungi tokoh. Perselisihan pun terjadi. Sebenarnya, penentuan prioriti (al-awlawiyât) harus disandarkan kepada hukum syariah. Oleh sebab itu, suami dan isteri penting memahami kedudukan masing-masing berdasarkan syariah. Suami wajib memperlakukan isteri dengan baik (ma‘rûf), memberi nafkah, mendidik isteri, menjaga kehormatan isteri dan keluarga. Isteri berkewajiban taat kepada suami, menjaga amanat sebagai umm[un] wa rabbah al-bayt, menjaga kehormatan dan harta suami, meminta izin kelaur dari suami. Sementara itu, kewajiban bersamanya adalah menjaga iman dan takwa; menjaga agar senantiasa taat kepada Allah Swt. menghindari maksiat, dan saling mengingatkan. Disarankan, semua kewajiban dikompromikan antara suami dan isteri. Jika pada suatu keadaan tertentu terjadi pertentanagan antara kepentingan antara peranan sebagai umm[un] wa rabbah al-bayt dan tugas dakwah, sedangkan pemaduan keduanya tidak dapat dilakukan, maka secara syar‘i prioriti yang harus dilakukan adalah kedudukan sebagai umm[un] wa rabbah al-bayt.
Prinsip Dakwah Sinergi
Ada lagi persoalan lain yang kadangkala muncul. Namun, bagi setiap persoalan yang muncul, inti pemecahan masalahnya adalah:
1.Mengetahui hak dan kewajiban masing-masing serta hak dan kewajiban bersama, lalu berupaya mengkompromikannya. Jika tidak boleh juga, perlu kembali pada awlawiyât berdasarkan hukum syariah.
2.Membangun komunikasi dan saling pengertian. Rasulullah saw. senantiasa berkomunikasi dengan Siti Khadijah ra. Beliau bersama isterinya berupaya bersama membincangkan persoalan dakwah. Bahkan, beliau menyempatkan berkomunikasi dan bersenda-gurau dengan isteri-isterinya setiap sehabis isya. Setelah itu, barulah beliau menginap di tempat isteri yang mendapat giliran. Nabi saw. mencontohkan bahwa komunikasi merupakan persoalan vital dalam rumah tangga. Tentu, saat komunikasi bukan melulu persoalan yang berat-berat, melainkan juga terkait dengan persoalan ringan seperti makanan yang enak, foto keluarga, dll.
3.Saling mendukung sebagai pasukan dakwah terkecil. Dukungan orang-orang terdekat—suami dan isteri, anak-anak, orangtua, dan orang-orang yang berada di sekitarnya—secara langsung atau tidak langsung akan berpengaruh terhadap kesuksesan pasukan dakwah keluarga. Beban rumah tangga, nafkah, dan dakwah jelas sangat berat. Akan lebih berat lagi jika suami/isteri atau keluarga tidak memahami kewajiban ini. Sebaliknya, semua tugas akan terasa ringan dan menyenangkan, rasa lelah segera hilang jika suami/isteri dan keluarga memahami aktivitasnya; mendukung, apalagi turut membantu. Suami dan isteri sama-sama memahami bahwa aktiviti tersebut bukan didasari oleh keinginan untuk aktualisasi diri, karier, ataupun untuk persaingan antara suami-isteri. Keduanya akan saling menolong dalam beribadah kepada Allah dan berlumba dalam kebaikan. Dengan begitu, akan tercipta sebuah keluarga yang harmoni, sakinah, mawaddah wa rahmah. Bagi Muslimah shalihah, seberat apa pun beban yang harus ditunaikan tidak bererti apa-apa jika dukungan dan redha suami senantiasa menyertainya. Begitu juga, seorang suami soleh akan tetap tersenyum bahagia jika isterinya solehah dan menopang dakwahnya. Di sinilah peranan penting suami-isteri saling mendukung dalam menunaikan kewajiban dakwah dari Allah, Zat Yang Mahakuasa. Perlu suami-suami menjadi seperti Nabi saw. dan para sahabat; perlu isteri-isteri menjadi laksana ummul mukminin dan shahabiyât yang secara harmoni berjuang bersama memperjuangkan Islam.
4.Pentingnya ukhuwah sesama pengembang dakwah. Dakwah tidak mungkin dilakukan secara individu. Dakwah berjamaah adalah suatu keniscayaan. Ukhuwah di antara pengembang dakwah juga terus dipelihara selama mereka berinteraksi. Dengan begitu, satu sama lain akan saling mengenal, saling memahami, dan saling membantu. Masing-masing memahami karakter, kemampuan, kondisi, serta apa yang diperlukan. Tidak akan ada beban yang diberikan di luar kemampuan seseorang atau membuat dia lalai terhadap kewajibannya yang lain. Kalaupun ada kendala pada individu pengembang dakwah bukan langsung disalahkan, tetapi akan diteliti akar permasalahannya dan dicari solusi pemecahannya. Sebuah jamaah dakwah ibarat roda yang berputar. Masing-masing bagian menempati posisi dan fungsi masing-masing; kadang berada di bawah kemudian naik ke atas. Demikian halnya dengan seorang pengembang dakwah. Ketika dia sedang diliputi kendala, keadaannya ibarat bagian bawah roda. Saudaranya sedia dan cepat bertindak untuk membantunya. Jika ini terjadi maka suatu keluarga pengembang dakwah yang tengah mendapatkan kesulitan diringankan oleh saudaranya dari keluarga lain.
Profil Keluarga
Keluarga Nabi saw. adalah keluarga sakinah penegak syariah. Beliau sebagai seorang suami sering bergurau, berbuat makruf, dan lembut terhadap isterinya. Beliaupun sekaligus rasul pejuang Islam. Salah seorang isterinya, Siti Khadijah, adalah penopang utama dakwah Nabi saw., beriman pertama kali, membiayai hampir seluruh dakwahnya. Sekalipun demikian, Siti Khadijah tetap rendah hati, berakhlak mulia, dan menjaga kesuciannya. Ia juga menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya serta tetap menghormati dan menaati Rasulullah saw. sebagai suaminya. Dari ibu mulia inilah lahir perempuan mulia Fatimah az-Zahra. Hidup beliau dilalui dengan penuh kesetiaan dan kebajikan. Sebagaimana yang seharusnya dilakukan oleh seorang isteri kepada suaminya. Ia mendampingi Rasulullah saw. dalam suka dan duka perjuangan (Lihat: Akhmad Khalil Jam’ah, Wanita Yang Dijamin Syurga, Darul Falah, Jakarta, 2002, hlm. 16).
Siti Khadijahlah yang senantiasa menenangkan ketakutan Nabi saw. Terserlahlah bahawa keluarga beliau adalah keluarga sakinah yang pejuang, atau keluarga pejuang yang sakinah.
Profil seperti itu terjadi juga pada keluarga Yasir bin Amir bin Malik. Dia bersama Sumayyah binti Khubath ra., dan anaknya Amar bin Yasir, termasuk tujuh orang pertama yang masuk Islam. Pasangan suami-isteri tersebut berhasil mendidik anaknya menjadi soleh. Sang suami amat sayang kepada isteri dan anaknya. Semasa hidupnya pun Sumayyah dikenal sebagai seorang isteri yang baik, berbakti, dan mengabdi kepada suaminya. Ia bersama suaminya dalam suka dan duka. Mereka bukan hanya sebagai keluarga sakinah, melainkan juga mempertaruhkan nyawanya demi melawan musuh-musuh Islam. Jelas, mereka adalah keluarga sakinah penegak Islam.
Contoh lain adalah keluarga Abu Thalhah. Beliau adalah seorang pejuang dan sahabat dekat Nabi saw. Isterinya bernama Ummu Sulaym binti Milhan ra. Dia adalah seorang perempuan Anshar. Ia termasuk shahabiyah yang utama. Ilmu, pemahaman, keberanian, kemurahan hati, kebersihan, dan keikhlasan bagi Allah dan Rasul terkumpul dalam dirinya. Sebagai ayah dan ibu mereka berhasil. Buktinya, Anas bin Malik yang banyak meriwayatkan hadis itu adalah anak mereka. Hubungan suami-istri pun mesra. Ummu Sulaym senantiasa menyediakan makanan dan minuman, berdandan cantik, bercakap dan bersenda gurau. Sungguh, keluarga mereka bukan hanya pembela Nabi saw., melainkan juga sakinah.
Banyak lagi contoh-contoh profil keluarga sahabat. Intinya, mereka memadukan peranan ayah/ibu dan anak, peranan suami-istri, dan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah, dengan perjuangan Islam. Jika kita hendak menjadi keluarga seperti mereka maka kita mesti menjadi ‘keluarga sakinah penegak syariah dan Khilafah’.

No comments:

Post a Comment